Shalat Hajat

Adapun shalat hajat, dalam hal ini perlu didudukkan terlebih dahulu apa yang dimaksud hajat. Dari sini, kita akan mengetahui apakah shalat tersebut disyariatkan atau tidak.
Hal itu karena saya dapati sebagian ulama menetapkan adanya shalat hajat, sedangkan yang lain meniadakannya bahkan menganggapnya bid’ah. Selain itu, di kalangan sebagian ulama yang menetapkan atau yang membid’ahkan, maksud masing-masing mereka terhadap shalat tersebut berbeda.
Penamaan shalat hajat itu sendiri bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi dari para ulama. Sebagian mereka melihat sebuah hadits shahih yang memuat anjuran untuk melakukan shalat terkait dengan suatu kebutuhan atau hajat. Adapun ulama lain melihat hadits lemah yang menganjurkan untuk shalat terkait dengan sebuah hajat, mereka pun menyimpulkan shalat hajat tidak ada karena haditsnya lemah. Oleh karena itu, di sini kami akan menyebutkan kedua-duanya.
Ulama yang menetapkan adanya shalat hajat di antaranya al-Mundziri dalam kitab beliau at-Targhib wat Tarhib. Lalu beliau menyebutkan hadits Utsman bin Hanif radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
Seorang buta datang kepada Nabi lalu mengatakan,
“Berdoalah engkau kepada Allah untukku agar menyembuhkanku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Apabila kamu mau, aku akan menundanya untukmu (di akhirat) dan itu lebih baik. Namun, apabila engkau mau, aku akan mendoakanmu.” Orang itu pun mengatakan, “Doakanlah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menyuruhnya untuk berwudhu dan memperbagus wudhunya serta shalat dua rakaat kemudian berdoa dengan doa ini, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Muhammad Nabiyurrahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku denganmu dalam kebutuhanku ini agar ditunaikan. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku’.”
(Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam kitab ad-Da’awat dan beliau mengatakan hadits hasan shahih gharib, Ibnu Majah dalam kitab ash-Shalah, dan beliau memberikan judul Shalat Hajat untuk hadits ini, serta an-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum Wal Lailah. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Sebagian ulama lagi menetapkan adanya shalat hajat, tetapi maksudnya adalah shalat istikharah. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Hadits shalat istikharah, disebut juga shalat hajat, karena istikharah adalah dalam hal kebutuhan yang sedang dialami seseorang, sehingga disyariatkan bagi seseorang untuk melakukan shalat dua rakaat dan memanjatkan doa istikharah dalam hal itu.”
Beliau rahimahullah juga menyebut shalat taubat dengan shalat hajat. (Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 25/165)
Adapun ulama yang meniadakan shalat hajat, mereka memaksudkan seperti yang terdapat dalam hadits dhaif berikut ini. Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang mempunyai kebutuhan kepad Allah atau kepada seseoqang dari bani Adam, maka berwudhulah dan perbaikilah wudhunya kemudian shalatlag dua rakaat. Lalu hendaklah ia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengucapkan (doa di atas),
‘Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah yang Maha Penyantun dan Mahamulia, Mahasuci Allah Rabb Arsy yang agung, segala puji milik Allah Rabb sekalian alam, aku memohon kepada-Mu hal-hal yang menyebabkan datangnya rahmat-Mu, dan yang menyebabkan ampunan-Mu serta keuntungan dari tiap kebaikan dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah Engkau tinggalkan pada diriku dosa kecuali Engkau ampuni, kegundahan melainkan Engkau berikan jalan keluarnya, tidak pula suatu kebutuhan yang Engkau ridhai melainkan Engkau penuhi, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang’.” (HR. At-Tirmidzi no. 479, Ibnu Majah no. 1384, dan yang lainnya)
Hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah. At-Tirmidzi sendiri mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini, “Hadits ini gharib [1]. Dalam sanadnya ada pembicaraan, dan Faid bin Abdurrahman dilemahkan dalam hadits.”
Para ulama pun mencela perawi tersebut (Faid bin Abdurrahman).
Al-Imam al-Bukhari mengatakan, “Mungkarul hadits (haditsnya ditinggalkan).”
Al-Imam Ahmad mengatakan, “Matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan).”
Adz-Dzahabi mengatakan, “Tarakuhu (Para ulama meninggalkannya).”
Adapun Ibnu Hajar mengatakan, “Matrukun ittahamuhu (Dia ditinggalkan haditsnya, para ulama menuduhnya sebagai pendusta).”
Atas dasar itu, asy-Syaikh al-Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini dhaifun jiddan (lemah sekali).
Dari kelemahan hadits itulah sebagian ulama meniadakan shalat hajat, yakni yang dilakukan dengan cara semacam itu. Wallahu a’lam.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan, “Adapun yang disebut shalat hajat, telah datang hadits yang dhaif dan mungkar -sebatas pengetahuan kami-, tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dibangun amalan di atas hadits-hadits tersebut.” (Ditandatangani oleh Ketua: Abdul Aziz bin Baz, Wakil: Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Qu’ud dan al-Ghudayyan, 1/161)
Demikian pula asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, “Shalat hajat tidak ada dalilnya yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, diriwayatkan bahwa apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi suatu masalah yang menyulitkannya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam segera menuju shalat, karena Allah berfirman:
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
(mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45) [Fatawa Nurun 'ala ad-Darb]
Demikian juga hadits:
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi suatu masalah yang menyulitkan beliau, beliau melakukan shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hasan.”)
Perhatian
Dalam buku-buku mazhab terdahulu juga dibahas shalat hajat, dengan tata cara pelaksanaan yang bermacam-macam terutama jumlah rakaatnya. Akan tetapi, semuanya tidak didasari oleh hadits-hadits yang shahih. Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[1] Dalam beberapa cetakan Sunan at-Tirmidzi disebutkan, “Hasan gharib”. Namun, Ahmad Syakir menyalahkan penyebutan ‘hasan’ tersebut, karena pada semua manuskrip lama tidak terdapat kata tersebut, kecuali hanya satu manuskrip.
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 62/VI/1431 H/2010, hal. 73-76.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top