Al Quran Berbicara tentang ruh

  • 0di
Al Quran Berbicara tentang Ruh - DR. Ahzami Samiun Jazuli
Diantara tema-tema yang diangkat dalam Al Quran, diataranya adalah tentang Ar Ruh. Kajian tentang Ar Ruh kali ini akan dibagi dalam 2 kajian, yaitu :
  • Makna/Maksud kata Ar Ruh dalam Al Quran. Karena setelah di pelajari dan di renungi, kemudian membuka referensi tentang kata dalam Al Quran, ternyata kata Ar Ruh mempunyai makna yang banyak (tidak hanya satu arti). Dengan demikian, maka diharapkan nantinya kita tidak salah dalam memahami kata Ar Ruh.
  • Beberapa pemahaman/persepsi tentang Ar Ruh dalam Al Quran dan Hadist.
* Makna/Maksud kata Ar Ruh dalam Al Quran
Diantaranya makna kata Ar Ruh adalah :
  1. Nafas. Seseorang yang masih bernafas dan bergerak maka orang tersebut masih ada ruh-nya. Kata nafas dan ruh dalam bahasa indonesia diterjemahkan sebagai nyawa, yang artinya bahwa seseorang masih hidup kalau orang tersebut ada nyawanya. Dan kita tidak mengetahui seperti apa wujud/bentuk dari nyawa tersebut.
  2. Jibril. Seperti halnya dalam surat Al-Qadr 1-5, yang artinya “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” Didalam ayat ke-4 yang berbunyi “Tanajjalul malaaaikatu warruuhu fiihaa” dimana kata “warruuhu” diterjemahkan sebagai Jibril. Bukankah Jibril adalah malaikat namun kenapa dalam ayat tersebut Jibril disebutkan secara khusus. Dalam ilmu tafsir diterangkan bahwa menyebut yang khusus setelah yang umum, menunjukkan bahwa yang khusus tadi mempunyai keistimewaan yang harus diperhatikan. Sehingga jibril yang berada di tengah-tengah malaikat adalah yang terdepan, Jibril sebagai pemimpin para malaikat. Didalam surat lain, yaitu surat ke 26 Ash-Shu’ara ayat 192-195 yang artinya “Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” Dimana dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu Allah swt (Al Quran) disebutkan dengan kata Ar Ruh Al Amin.
  3. Nabi Isa as. Seperti dalam firman Allah swt yang berbunyi “Wa rohun minhu” yang artinya “Dan ruh darinya (maksud-nya Isa as)”. Lalu yang menjadi pertanyaan, kenapa nabi Isa as disebut Ruh? Diantara mukjizat Nabi Isa as selain menyembuhkan orang sakit yaitu Nabi Isa as mempunyai mukjizat mampu menghidupkan orang yang sudah mati, yang tentunya atas ijin Allah swt. Maka Nabi Isa as disebut Ruh, karena seolah-olah Nabi Isa bisa menghadirkan kembali ruh orang yang sudah meninggal. Pada dasarnya, jika seseorang meninggal dunia maka ruh orang tersebut pergi dari jasad-nya. Seperti halnya jika seseorang tidur, maka dalam keadaan tidur itu ruhnya sedang pergi dari jasadnya. Dan ketika bangun, ruhnya telah kembali ke jasadnya.
  4. Al Quran. Seperti halnya dalam surat Asy-Syuura (42) ayat 52 “wakadzaalika awhaynaa ilayka ruuhan min amrinaa …” yang artinya secara lengkap 1 ayat “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” Kenapa Al Quran disebut sebagai Ruh? Karena Al Quran adalah pedoman kehidupan yang hakiki untuk umat manusia, terutama di akhirat nanti. Sehingga seseorang yang hidup bersama Al Quran, membaca, mendengar, merenungi, memahami, manghafalkan dan mendakwakan Al Quran maka orang tersebut akan mendapatkan kehidupan yang hakiki. Seperti halnya dalam surat Al Ankabut ayat 64 yang artinya “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”
* Beberapa pemahaman/persepsi tentang Ar Ruh dalam Al Quran dan Hadist.
Dalam bab pemahaman tentang Ruh ini, hanya akan dikhususkan membahas ruh dalam pengertian-nya sebagai nafas. Karena sebenarnya tubuh kita terdiri dari jasad dan ruh. Sedangkan pengertian ruh yang lain (seperti halnya jibril, isa as dan al quran) cukuplah sebagai pelengkap dalam mengartikan makna kata ruh, sehingga tidak akan diulang pada bab ini.
Pemahaman tentang Ruh diataranya adalah :
1. Ruh adalah urusan Allah (rahasia Allah swt). Sehingga dengan demikian maka kita tidak tahu ruh itu seperti apa. Maka yang tahu tentang hakikat Ruh adalah Allah swt[1]
2. Ruh membutuhkan “makanan”. Manusia terdiri dari jasad dan ruh. Namun kenyataan-nya manusia lebih memperhatikan kebutuhan jasad-nya daripada kebutuhan ruh-nya. Misal seseorang sakit gigi, maka diperiksakan-nyalah giginya ke dokter. Sedang lapar, maka bergegas segera makan. Begitu cepatnya kebutuhan jasad-itu ditunaikan, namun jika kebutuhan ruhiyah-nya banyak orang yang lamban. Orang yang ruhiyah-nya kotor, tidak berinteraksi dengan Al Quran, tidak sholat, tidak ber-dzikir ibarat baju yang awal-nya putih menjadi kusam, kumal karena tidak pernah ‘dicuci’ beberapa waktu lamanya. Maka jangan heran jika ada orang yang tega membunuh sekian banyak orang, berzina untuk memuaskan nafsu setan-nya  hal itu karena ruhiyah-nya kotor, kebutuhan ruh-nya tidak diberi ‘makanan/vitamin’. Jika jasad kita tidak diberi makan, yang kemudian terjadi adalah kelaparan dan ujung-ujung-nya orang tersebut meninggal (tidak membahayakan orang lain). Namun jika ruh-nya yang kotor/kering karena tidak diberi ‘makanan/vitamin’ maka akan berakibat merusak dirinya maupun orang lain. Oleh karena itu kebutuhan terhadap ruh kita sama dengan kebutuhan jasad kita (seimbang antara kebutuhan jasad maupun ruhiyah).
Dalam sebuah Kisah Ashabul Kahfi, terdapat sabda nabi :
“Al Arwahu Junudun Mujannadah Fama Ta’arofa Minha, Talafa Wama Tanakaro Minhakhtalafa…”
(Sesungguhnya) ruh-ruh itu seperti pasukan yang berbaris (ketika di alam arwah)…jika dahulu mereka saling mengenal (di alam arwah) maka mereka akan berkasih sayang(di dunia), dan jika dahulu mereka saling bermusuhan, maka mereka akan saling berselisih (di dunia).

Ruh yang baik akan dipertemukan dengan ruh yang baik, bersatulah mereka dijalan Allah swt, bersatu di jalan dakwah. Sedangkan ruh yang buruk akan sering berbeda/berantem. Dengan hadist ini kita diberikan kemudahan memahami isra’ nabi Muhammad saw. Ketika berada di masjidil Aqsa, nabi mengimami shalat jama’ah para nabi sedangkan makmumnya adalah pada nabi. Bukankah para nabi sudah meninggal, namun sebenarnya ruh para nabi tersebut masih ada dan melakukan sholat bersama Nabi Muhammad saw.[2]
3. Ruhnya orang yang sahid, akan berkeliling/beterbangan di surga.[3] Mereka menikmati indahnya surga sebelum semua orang kembali ke akhirat. Hal ini menggambarkan luar biasanya orang yang mati sahid. Bahkan dalam sebuah hadist diceritakan bahwa ketika seseorang meninggal dalam medan jihad, maka diampuni semua dosanya kecuali hutang.
Catatan Kaki :
  1. Al-Quran mengingatkan kita akan firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, Ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit. -QS Al Isra’ 17: 85- «»
  2. Beliau SAW mengimami shalat jama’ah para nabi di Masjid Al-Aqsha. Dari Abu Hurairah, ia telah berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW : “….. Dan sungguh telah diperlihatkan kepadaku jama’ah para nabi. Adapun Musa, dia sedang berdiri shalat. Dia lelaki tinggi kekar seakan-akan dia termasuk suku Sanu’ah. Dan ada pula ‘Isa bin Maryam alaihi`ssalam sedang berdiri shalat. Manusia yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Ada pula Ibrahim ‘alaihi`ssalam sedang berdiri shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini, yakni beliau sendiri. Kemudian diserukanlah shalat. Lantas aku mengimami mereka. Seusai shalat, ada yang berkata -Jibril-: “Wahai Muhammad, ini adalah Malik, penjaga neraka. Berilah salam kepadanya!” Akupun menoleh kepadanya, namun dia mendahuluiku memberi salam. -HR Muslim 172-. Beliau SAW melihat Nabi Musa, Nabi Isa, Dajjal, dan Malaikat Malik. Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: “Pada malam aku diisra’kan aku melewati Musa di gundukan tanah merah ketika dia sedang shalat di dalam kuburnya.” -HR Muslim 2375- «»
  3. ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam Keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” QS. Al Imron : 169 – 171 «»
 Kata ruh berasal dari akar kata r w h. Setidaknya terdapat 10 entri makna berkenaan dengan akar kata tersebut, dan berkorelasi dengan kata angin sepoi-sepoi, ringan, aktif, dan cepat. Kata ruh juga berhubungan dengan kata istirahat, dan bau, demikian pula dengan aktivitas bernafas. Makna umum yang dapat kita temukan pada kata-kata tadi adalah hubungan antara ruh dengan angin atau udara. Dalam hal ini, makna resmi kata tersebut yang berarti nyawa yang menggerakkan makhluk hidup, dapat dipahami secara intuitif sebagai udara yang menggerakkan jasad manusia. Karena udara tidak dapat dilihat, maka demikian pula ruh, yang hanya dapat dirasakan keberadaannya yang seperti angin itu.

Sampai disini, kita dapat memahami maksud para penceramah dengan lelucon yang mereka sampaikan itu. Bahwa ruh selamanya tidak akan pernah dilihat dan dicerap secara empirik oleh manusia, dan hanya Tuhanlah yang mampu untuk menjelaskan hakekat dari ruh. Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana menjelaskan hubungan antara Al-Quran atau Jibril dengan term ruh. Cara paling efektif dan tepat untuk mengetahuinya adalah dengan menganalisis penggunaan kata tersebut dalam Al-Quran. Dengan demikian, kita beralih dari pemahaman ruh dalam arti umum sebagaimana yang kita ketemukan dalam kamus, kepada pemahaman ruh sebagaimana digunakan dalam ayat-ayat Al-Quran yang kontekstual.

Dari empatbelas ayat yang mengandung kata ruh, empat diantaranya berkaitan dengan kata al-quds, suci, dan membentuk sebuah term baru bernama Ruh al-Quds. Tiga ayat diantaranya, 5:10, 2:253, 2:78, berhubungan dengan ihwal kerasulan Isa yang diperkuat dengan Ruh al-Quds. Namun pada ayat 4:171, Isa didefinisikan sebagai rasulullah, kalimat Tuhan yang disampaikan kepada Maryam, dan ruh dariNya. Dengan demikian, selain diperkuat oleh Ruh al-Quds, ternyata Isa sendiri memiliki ruh Tuhan. Keberadaan ruh Tuhan dalam diri Isa, sangat berkaitan dengan proses kelahirannya yang supranatural. Pada 19:17 dijelaskan bahwa Tuhan, dalam bentuk plural, mengirimkan kepada Maryam “ruh kami” yang tampak baginya seperti manusia sempurna. Dari pertemuan dengan “ruh kami”lah, kemudian Maryam mengandung Isa. Al-Quran sendiri menjelaskan secara unik kehamilan Maryam ini dengan menjelaskan bahwa ia adalah perempuan yang menjaga kemaluannya yang ditiupkan padanya sebagian dari “ruh kami”. Namun dua ayat yang menerangkan pernyataan unik ini memiliki dua objek yang berbeda. Yakni pada 66:12 objek peniupan ruh ber-gender maskulin, sedang pada 21:91, bergender feminin. Perbedaan gender ini dalam hemat saya merujuk baik kepada Maryam maupun Isa. Dengan kata lain, bukan hanya Isa saja yang mendapatkan “ruh kami”, tapi juga Maryam.

Ternyata, keberadaan ruh Tuhan dalam diri manusia bukanlah prerogatif Isa dan Maryam semata. Pada 32:9, 15:29, dan 38:72, juga diterangkan bahwa manusia pertama telah diisi oleh ruhNya. Dalam konteks ini, penyampaian ruh Tuhan kepada diri Adamlah yang membuat para malaikat sujud kepadanya. Sujudnya para malaikat kepada Adam, sangat berkaitan dengan ihwal pengajaran nama-nama yang disampaikan Tuhan kepadanya dalam 2:31. Pada ayat tersebut diterangkan bahwa Adam mampu dengan gemilang mengungguli para malaikat, karena mampu memberitakan nama-nama yang telah Tuhan ajarkan kepadanya. Keterangan yang terdapat pada ayat tersebut, memberikan petunjuk awal kepada kita, jika kata ruh ternyata berkaitan pula dengan ajaran-ajaran Tuhan.

Penyamaan ruh Tuhan, dengan ajaran-ajaran Tuhan diperkuat oleh perkataan Ya’qub kepada putra-putranya dalam 12:87 untuk tidak berputus asa dalam mencari Yusuf yang hilang. Pada ayat tersebut, Ya’qub mengatakan: “janganlah kalian berputus asa dari ruh Allah. Sungguh hanya kaum kafirlah yang putus asa dari ruh Allah”. Perkataan Ya’qub ini kemudian diperkuat pula oleh 58:22 yang menjelaskan bahwa orang-orang beriman tidak akan berkasih sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, meskipun mereka adalah sanak saudara mereka. Orang-orang beriman ini, menurut Allah, adalah mereka yang telah tercatat dalam qalb mereka iman, dan diperkuat dengan ruh dariNya. Tentu saja, ruh Tuhan, melebihi ajaran-ajaran Tuhan semata. Saya memberikan hipotesis, bahwa yang dimaksud oleh term tersebut adalah kemampuan untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran Tuhan dalam tataran praktis. Yakni tatkala ajaran-ajaran tersebut telah mendarah daging dalam perilaku keseharian seseorang, maka yang bersangkutan tidak ubahnya mereka yang telah mendapat ruh Tuhan. Atau dalam bahasa yang lebih kasar, dirinya telah terasuki oleh segenap semangat moral dan tuntunan ilahiyah.

Resapan “semangat ketuhanan” dalam diri seseorang ini jelas bukan sebuah peristiwa yang subjektif. Dalam 16:102 diterangkan bahwa keteraturan susunan ayat-ayat Al-Quran dikarenakan ia dibawa oleh ruh al-Quds dari Tuhan kepada Nabi SAW. Disini kita menemukan bahwa tekstualitas Al-Quran berada di luar subjektivitas Muhammad SAW sebagai rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan. Pada seri ayat yang menerangkan tata laksana turunnya wahyu pada 42:51-2, dijelaskan bahwa wahyu itu sendiri adalah ruh yang menjadi cahaya bagi orang-orang yang dikehendaki oleh Tuhan. Dari pemaparan tersebut, kita sampai pada kesimpulan bahwa, kata ruh, dalam Al-Quran tidak dapat disamakan dengan kata roh dalam bahasa Indonesia. Ia bukanlah roh dalam arti nyawa sebagaimana dimaksud oleh para penceramah, akan tetapi suatu “semangat ilahiah” yang merasuki setiap perilaku seseorang. Meskipun seseorang dapat terasuki sepenuh hati oleh ruh Tuhan, akan tetapi apa yang ia perbuat tidaklah bersifat semena-mena dan subjektif, melainkan mengikuti kaedah-kaedah yang telah ditentukan oleh Tuhan. Meski demikian, penyampaian ruh Tuhan atas diri seseorang sepenuhnya bersifat subjektif bagi Tuhan. Dengan kata lain, hanya Tuhanlah yang berhak memberikan hadiah tersebut kepada seseorang.

Dari definisi tentang kata ruh dalam arti umum sebagaimana digunakan dalam Al-Quran, sekarang kita membahas mengenai kata al-ruh dalam arti khusus. Sekali lagi, kita menemukan keunikan dalam Al-Quran. Jumlah ayat yang memuat kata al-ruh adalah setengah dari jumlah ayat yang memuat kata ruh. Itu berarti sama dengan jumlah ayat yang mengatributkan kata ruh kepada Isa dan Maryam, yakni tujuh ayat. Dari ketujuh ayat ini, tiga diantaranya disandingkan dengan malaikat. Pada 78:38, diterangkan bahwa pada Hari Kiamat nanti, al-Ruh dan malaikat akan bangun dalam satu shaf untuk berbicara atas seizin Al-Rahman. Di ayat berikutnya, 70:4 diterangkan bahwa para malaikat dan al-Ruh naik ke tempat-tempat tertinggi milik Tuhan, yang teramat jauh, dimana waktu sehari dalam kenaikan mereka setara dengan waktu lima puluh ribu tahun menurut ukuran manusia. Adapun pada ayat ketiga, 16:2, dijelaskan bahwa malaikat diturunkan dengan al-Ruh.

Pemaparan kata al-ruh dan hubungannya dengan malaikat di ketiga ayat tersebut, tentu memunculkan banyak pertanyaan. Apakah al-ruh itu individu, entah sejenis malaikat atau makhluk yang jauh lebih tinggi derajatnya, ataukah ia sebuah objek yang tidak hidup, macam wahyu? Kesulitan ini berkaitan dengan struktur kalimat pada ayat dimana kata al-Ruh digunakan. Kunci dari jawaban ini, menurut saya terletak pada bagaimana kita memahami ayat 26:193. Disana dijelaskan bahwa Al-Quran nazala bihi al-Ruh al-Amin. Term ini bagi saya memiliki dua makna. Pertama, ia dapat diartikan bahwa Al-Quran itu dibawa oleh al-Ruh al-Amin atau, al-Ruh al-Amin itulah yang membawa Al-Quran dan menyampaikannya kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, al-Ruh al-Amin itu subjek, sedangkan Al-Quran itu objek. Kedua, term tadi juga dapat diartikan sebagai nazala bi al-Quran, al-Ruh al-Amin, atau Al-Quran diturunkan kepada Muhammad SAW bersama al-Ruh al-Amin. Pada makna kedua ini, baik Al-Quran maupun al-Ruh al-Amin, sama-sama objek yang diturunkan Tuhan kepada Nabi SAW.

Bagi saya, kedua penafsiran ini memiliki beberapa konsekuensi logis, yakni jika ia subjek tentu kita dapat memahami ayat 78:38 dan 70:4 dengan jelas. Yakni al-Ruh yang dapat berkata-kata di akhirat kelak dan yang naik ke tempat-tempat tertinggi, ma’arij, serta yang turun bersama malaikat pada malam qadr. Meskipun demikian, koherensi makna al-Ruh dengan ruh sebagaimana saya jelaskan sebelumnya akan sedikit berbeda. Dalam hal ini, “semangat ilahiyah” akan mengalami distorsi makna, jika kita menyamakannya sebagai subjek. Dimana, kondisi orang yang terasuki ruh Tuhan mengalami kehilangan kesadaran akan identitas, karena tergantikan oleh subjek lain yang merasukinya. Tentu saja penafsiran ini sangat bermasalah, karena meskipun seseorang terasuki oleh ruh Tuhan, tapi ia tidaklah kehilangan kesadaran akan identitas dirinya. Yang saya maksud adalah, kita dapat membedakan dengan jelas antara orang yang “kerasukan” sesuatu dan melakukan sebuah perbuatan tanpa sadar, dengan orang yang melakukan sebuah perbuatan dengan sadar, tapi terinspirasi oleh sebuah semangat yang merasuk kedalam dirinya. Dalam arti kedua inilah mestinya makna ruh disematkan.

Lalu bagaimana mengartikan al-Ruh sebagai sebuah objek?  Menurut saya, ayat 40:15 memberikan petunjuk bagi masalah ini. Yakni, hanya Tuhanlah yang mengangkat derajat sesuatu/ seseorang, yang memiliki ‘Arsy, dan menyampaikan al-Ruh dengan perintahNya kepada hamba-hambaNya yang Dia kehendaki. Al-Ruh dengan demikian memiliki makna yang sama dengan ruh. Model penafsiran ini tentu sangat berguna dalam menafsirkan fenomena laylatul qadr pada surat 97. Dalam ayat tersebut dikemukakan definisi dari malam qadr, yakni malam yang lebih baik dari seribu bulan, dimana pada malam tersebut malaikat dan al-Ruh turun atas seizin Tuhan, untuk mengatur setiap urusan. Akan pengertian ini, sekali lagi saya teringat penafsiran Quraish Shihab tentang makna surat tersebut.

Kalau saya tidak salah, beliau menjelaskan tentang arti laylatul qadr sebagai malam saat nilai ibadah yang kita lakukan setara dengan ibadah yang dikerjakan selama seribu bulan. Malam qadr dengan demikian ibarat premier time yang berlangsung singkat, dari malam hingga terbit fajar. Meski singkat, akan tetapi setiap ibadah yang dilakukan pada malam tersebut memiliki nilai balasan yang teramat tinggi. Pendapat ini adalah pendapat umum yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat kita. Lalu apa penafsiran berikutnya? Quraish Shihab mengartikan term terbit matahari, mathla’ al-fajr, di ayat 5 surat tersebut sebagai akhir hayat manusia. Maksudnya, mereka yang dikaruniai Tuhan untuk bertemu laylatul qadr akan menjadi orang yang selalu berbuat baik sepanjang hidupnya, dan perilakunya itu tidaklah terbatas pada satu malam saja. Di sini Quraish Shihab berargumen bahwa pengaruh malam qadr tidaklah berlangsung singkat, melainkan membekas dalam diri seseorang, dimana orang yang bersangkutan akan selalu mendapatkan bimbingan dari Tuhan hingga ia meninggal.

Apabila kita menerima penafsiran kedua ini, maka ide bahwa al-Ruh  sebagai sebuah objek yang memiliki arti yang sama dengan ruh, dapat kita kita pahami dengan logis. Ia adalah keadaan sadar diri dalam perlindungan dan petunjuk Tuhan. Kesadaran akan ajaran-ajaranNya, sebagaimana dahulu para nabi dan rasul telah “terasuki”. Untungnya, rasa sadar ini bukan hanya milik mereka. Kita para manusia biasa juga bisa mendapatkan al-Ruh. Saat dimana Tuhan menganugerahkan al-Ruh pada diri seseorang adalah pada malam qadr. Pada malam inilah atas seizin Tuhan, al-Ruh diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Sekali lagi, pengaruh al-Ruh bersifat permanen. Ia akan mempengaruhi kehidupan orang terpilih tersebut sepanjang hayatnya hingga ia meninggal dunia.

Penafsiran bahwa al-Ruh memiliki arti yang sama dengan ruh, dalam banyak hal menjelaskan pula tentang hakekat agama dan juga Al-Quran. Pertanyaan yang selalu menggugah ilmuwan, kenapa manusia beragama, darimana asal muasal Al-Quran, selanjutnya berkaitan dengan ide bagaimana Tuhan menyampaikan al-Ruh secara subjektif. Bahwa keberagamaan dan kemudian Al-Quran sendiri adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia, dan pertanyaan mengenai asal-usul keduanya akan tetap menjadi rahasia Tuhan untuk selama-lamanya. Manusia tidak akan pernah dapat mengerti hakekat keberagamaan dan Al-Quran. Pada titik inilah mestinya ayat 17:85 dipahami. “yas’alunaka a’n al-Ruh, qul al-Ruh min amri Rabbi, wa ma utitum min al-i’lm illa qalilan”. Mereka bertanya padamu tentang wahyu dan agama, juga tentang keberagamaan itu sendiri. Katakan, bahwa hal tersebut adalah urusan Tuhanku, dan kalian tidaklah memiliki pengetahuan atasnya kecuali sedikit.

Wa Allah A’lam bi al-shawwab.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top