Ketika senja datang ada yang berduka dengan cucuran airmata yang tak terbendung, ada yang tertawa-tawa, ada yang bersenandung, ada yang murung dan melipat-lipat wajahnya, ada yang biasa-biasa saja seperti tak merasakan apa-apa. Namun, bukankah ”tak merasakan apa-apa” itu juga sebuah perasaan? Sekali lagi, berjuta perasaan itu tergantung dari pengalaman batin kita masing-masing dalam mempersepsikan senja.
Di suatu senja mungkin kita akan merenung dan me-refleksi tingkah laku kita sepanjang hari yang telah kita lewati demi meraih kehidupan yang lebih baik dan diridhai Sang Pencipta Senja sekaligus untuk mengingat-Nya.
 
”Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas (QS: Al Kahfi 28).

Di lain waktu, kadang kita bisa menikmati senja dengan hati yang berbunga-bunga, perasaan sentimentil ataupun romantis, bisa datang tiba-tiba dan bertubi-tubi. Namun terkadang juga senja menghadirkan duka lara yang tak terkira, mencipta raksasa-raksasa yang menohok-nohok dada, seperti ”Senja di Sebuah Stasiun” ini:
“…….aku tetap tegar meski rel-rel cintaku kau lindas dengan gerbong cintamu hingga melengking-lengking menyayat-nyayat menjerit-jerit dan engkau terus melaju, sementara aku masih menikmati sakit bersama lampu-lampu muram dan tiang-tiang listrik karatan, ah…..cintamu memang seharga itu”
(Pantai Ayah , 02122012)
Atau kala senja, muncul semangat heroik, sumpah serapah dan tawa yang membahana ketika mendapati berita koran sore tentang seorang gelandangan tua tewas mengenaskan dirubung lalat dan tak jelas keluarganya di sebuah emperan toko cina. Kasihan, terenyuh, marah kepada “yang di sana” campur aduk di dada kala itu, kala

Senja Itu Telah Memaksamu Pulang”:
 
senja itu telah memaksamu pulang, kawan
kemudian melipat-lipat
dan membiarkanmu terkapar
dirubung lalat di emperan toko cina
kini engkau telah merdeka
terbang bersama angin senja
guratan-guratan di pipi
adalah peta hidup yang kaku titi
jalan hidup yang berkelok
hidup tanpa bahan pokok
senja itu telah memaksamu pulang, kawan
padahal engkau belum tuntas
menyusuri padatnya lalu lintas
mencari mimpi-mimpi yang terkelupas
senja itu telah memaksamu pulang, kawan
sebelum engkau sempat
menelan habis nasi bungkusan
sebagai syarat hidupmu

Dan tentu Anda punya pengalaman batin sendiri ketika senja datang. Bagaimana dengan perasaan Anda itu?

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top