Fatwa Muhammadiyah tentang Pacaran Islami
Hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ
وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري:
2784, مسلم: 2391)
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw
berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan
seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya(saudara/muhrimnya), dan janganlah seorang
perempuan melakukan musafir(berjalan/perg ikeluar) kecuali beserta
ada mahramnya” (muttafaq alaihi)
Sudah cukup lama (2003) Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan
fatwa tentang pacaran dalam Islam. Bila istilah “pacaran” diartikan
sebagai “berteman dan saling menjajaki kemungkinan untuk mencari jodoh
berupa suami atau istri” (Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976)), maka pacaran itu selaras dengan sunnah Rasul.
Dari sejumlah hadits, dipahami bahwa ada
masa penjajakan untuk memilih calon suami atau isteri sebelum menetapkan
keputusan untuk malakukan peminangan. Masa penjajakan ini dapat
disamakan dengan masa pacaran menurut pengertian di atas. Setelah masa
pacaran dilanjutkan dengan masa meminang, jika peminangan diterima maka
jarak antara masa peminangan dan masa pelaksanaan akad nikah disebut
masa pertunangan. Pada masa pertunangan ini masing-masing pihak harus
menjaga diri mereka masing-masing karena hukum hubungan mereka sama
dengan hubungan orang-orang yang belum terikat dengan akad nikah.
Rasulullah saw memberi tuntunan bagi orang yang dalam masa pacaran atau dalam masa petunangan sebagi berikut:1. Pada masa pacaran atau masa pertunangan antara mereka yang bertunangan dan pacaran adalah seperti hubungan orang-orang yang tidak ada hubungan mahram atau belum melaksanakan akad nikah, karena itu mereka harus:
a. Memelihara matanya agar tidak melihat aurat pacar atau tunangannya, begitu pula wanita atau laki-laki yang lain. Melihat saja dilarang tentu lebih dilarang lagi merabanya.
b. Memelihara kehormatannya atau kemaluannya agar tidak mendekati perbuatan zina.
2. Untuk menjaga ‘a’ dan ‘b’ dianjurkan sering melakukan puasa-puasa sunat, karena melakukan puasa itu merupakan perisai baginya
Pacaran” dalam kamus bahasa Indonesia
mempunyai beberapa arti (Purwodarminto, 1976) :
1.
Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan,
bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka.
2.
Pacaran berarti “bergendak” yang sama artinya
dengan berkencan atau berpasangan untuk berzina.
3.
Pacaran berarti berteman dan saling menjajaki
kemungkinan untuk mencari jodoh berupa suami atau istri.
Pacaran
menurut arti pertama dan kedua jelas dilarang oleh agama Islam, berdasarkan
nash:
a. Allah berfirman:
وَلاَ
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً ( الإسراء: 32)
“Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk”
b. Hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ
وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري:
2784, مسلم: 2391)
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw
berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan
seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang
perempuan melakukan musafir kecuali beserta
ada mahramnya” (muttafaq alaihi)
Perkawinan merupakan sunnah Rasulullah
dengan arti bahwa suatu perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah agar
kaum muslimin melakukannya. Orang yang anti perkawinan dicela oleh Rasulullah,
berdasarkan hadits:
عن أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: …لَكِنِّي أَصُومُ
وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي * (رواه البخاري: 4675, مسلم: 2487)
“Dari Anas ra. Bahwasanya
Nabi saw berkata: …tetapi aku, sesungguhnya aku salat, tidur, berbuka dan
mengawini perempuan, maka barangsiapa yang benci sunnahku maka ia bukanlah dari
golonganku”
Pada umumnya suatu perkawinan terjadi
setelah melalui beberapa proses, yaitu proses sebelum terjadi akad nikah,
proses akad nikah dan proses setelah terjadi akad nikah. Proses sebelum terjadi
akad nikah melalui beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, tahap peminangan dan
tahap pertunangan. Tahap penjajakan mungkin dilakukan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan atau sebaliknya, atau pihak keluarga masing-masing.
Rasulullah memerintahkan agar pihak-pihak yang melakukan perkawinan melihat
atau mengetahui calon jodoh yang akan dinikahinya, berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ
إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي تَزَوَّجْتُ
امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ نَظَرْتَ
إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ اْلأَنْصَارِ شَيْئًا ( رواه النسائ: 3194, إبن ماجه و الترمذي)
“Dari Abu Hurairah ra
ia berkata: berkata seorang laki-laki sesungguhnya ia telah meminang seorang
permpuan Anshar, maka berkata Rasulullah kepadanya: “Apakah engkau telah
melihatnya? Laki-laki itu menjawab: “Belum”. Berkata Rasulullah: “Pergilah dan
perhatikan ia, maka sesungguhnya pada mata perempuan Anshor ada sesuatu” (HR.
an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan dinyatakannya sebagai hadits hasan)
Rasulullah saw memerintahkan agar kaum
muslimin laki-laki dan perempuan sebelum memutuskan untuk meminang calon
jodohnya agar berusaha memilih jodoh yang mungkin berketurunan, sebagaimana
dinyatakan pada hadits:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ *( رواه أحمد : 12152, وصححه إبن حبان)
“Dari Anas ra.
Rasulullah saw memerintahkan (kaum muslimin) agar melakukan perkawinan dan
sangat melarang hidup sendirian (membujang). Dan berkata: Kawinilah olehmu
wanita yang pencinta dan peranak, maka sesungguhnya aku bermegah-megah dengan
banyaknya kamu di hari kiamat”
Dari kedua hadits diatas dipahami bahwa
ada masa penjajakan untuk memilih calon suami atau isteri sebelum menetapkan
keputusan untuk malakukan peminangan. Penjajakan ini mungkin dilakukan oleh
pihak laki-laki atau pihak perempuan atau keluarga mereka. Jika dalam
penjajakan ini ada pihak yang diabaikan terutama calon isteri atau calon suami
maka yang bersangkutan boleh membatalkan pinangan akan perkawinan tersebut,
berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اْلأَيِّمُ أَحَقُّ
بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا
صُمَاتُهَا قَالَ نَعَمْ
* ( رواه مسلم: 2545, البخاري: 4741)
“Dari Ibnu Abbas, ra, bahwasanya
Rasululah saw bersabda: Orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak terhadap
(perkawinan) dirinya dibanding walinya, dan gadis dimintakan perintah untuk
perkawinannya dan (tanda) persetujuannya ialah diamnya” (muttafaq alaih)
Dan hadits:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا
زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ( رواه أبوداود: 1794, أحمد: 2340, إبن ماجه: 1865)
“Dari Ibnu Abbas ra,
sesungguhnya jariah seorang gadis datang menghadap rasulullah saw dan
menyampaikan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki,
sedang ia tidak menyukainya. Maka Rsulullah saw menyuruhnya untuk memilih
(apakah menerima atau tidak)”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan
ad-Daraquthni)
Masa penjajakan ini dapat disamakan
dengan masa pacaran menurut pengertian ketiga di atas. Setelah masa pacaran
dilanjutkan dengan masa meminang, jika peminangan diterima maka jarak antara
masa peminangan dan masa pelaksanaan akad nikah disebut masa pertunangan. Pada
masa pertunangan ini masing-masing pihak harus menjaga diri mereka
masing-masing karena hukum hubungan mereka sama dengan hubungan orang-orang
yang belum terikat dengan akad nikah.
Rasulullah saw memberi tuntunan bagi
orang yang dalam masa pacaran atau dalam masa petunangan sebagi berikut:
1.
Pada masa pacaran atau masa pertunangan antara
mereka yang bertunangan dan pacaran adalah seperti hubungan orang-orang yang
tidak ada hubungan mahram atau belum melaksanakan akad nikah, karena itu mereka
harus:
a.
Memelihara matanya agar tidak melihat aurat
pacar atau tunangannya, begitu pula wanita atau laki-laki yang lain. Melihat
saja dilarang tentu lebih dilarang lagi merabanya.
b.
Memelihara kehormatannya atau kemaluannya agar
tidak mendekati perbuatan zina.
2.
Untuk menjaga ‘a’ dan ‘b’ dianjurkan sering
melakukan puasa-puasa sunat, karena melakukan puasa itu merupakan perisai
baginya. Hal diatas dipahami dari hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ
قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ * (رواه مسلم: 2486, البخاري: 1772)
“Dari Ibnu Mas’ud ra
berkata, Rasulullah saw mengatakan
kepada kami: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup
melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya melakukan
akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihar farj (kemaluan), dan
barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunat), maka sesunguhnya
puasa itu perisai baginya” (muttafaq alaih)
=========
Sumber: Suara
Muhammadiyah, tahun 2003
0 komentar:
Posting Komentar