وَقَالَ رَبّكُـمْ ادْعُونِيَ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنّ الّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنّمَ دَاخِرِينَ
Dan
Tuhanmu berfirman : "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." [QS. Al-Mukmin : 60].
Namun jika kita merasa bahwa doa kita belum terkabulkan, maka kita tidak boleh putus asa. Kita harus ber-husnudhan pada Allah ta’ala dengan
terus introspeksi terhadap diri kita sendiri. Ketika berdoa, kita harus
memperhatikan adab-adab berdoa, diantaranya : ikhlash, sungguh-sungguh,
khusyuk, penuh kerendahan,
dan yakin bahwa doa kita pasti akan dikabulkan (sebagaimana firman Allah
di atas). Awalilah doa kita dengan sanjungan kepada Allah ta’ala dan shalawat kepada Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam. Bisa jadi doa kita terhalang karena beberapa faktor, diantaranya :
1. Makan
dan minum dari yang haram, mengkonsumsi barang haram berupa makanan,
minuman, pakaian, dan hasil usaha yang haram. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لا يُقبَلَ إِلا طَيِّباً وَإِنَّ اللهَ
أَمَرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ اْلمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ { يَا
أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحاً
إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكمْ } ثُمَّ
ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ
إِلَى السَّمَاء يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ
حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِاْلحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ
لِذَلِكَ ؟
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah ta’ala adalah Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada para Rasul. Allah ta’ala berfirman : “Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih” (QS. Al-Mu’minuun : 51). Dan Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu” (QS. Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menceritakan
seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan
berdebu lalu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata,”Ya
Rabb..ya Rabb…”, sedangkan
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya dari yang haram, dicukupi
dari yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1015].
2. Minta cepat terkabul doa yang akhirnya meninggalkan doa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُوْلُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ
“Dikabulkan
doa seseorang dari kalian selama ia tidak buru-buru,(dimana) ia berkata
: ”Aku sudah berdoa namun belum dikabulkan doaku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5981 dan Muslim no. 2735].
لا
يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ
رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيْلَ يَا رَسوْلَ اللهِ مَا
اْلاِسْتِعْجَالُ قَالَ يَقُوْلُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَم أَرَ
يَسْتَجِيْبُ لِيْ فَيَسْتحْسِرَ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ
“Senantiasa
doa seorang hamba akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk berbuat
dosa atau memutuskan silaturahim, dan selama ia tidak meminta dengan
tergesa-gesa (isti’jal)”. Ada yang bertanya : “Ya Rasulullah, apa itu isti’jal ?”. Jawab beliau : “Jika
seseorang berkata : ‘Aku sudah berdoa, memohon kepada Allah, tetapi Dia
belum mengabulkan doaku’. Lalu ia merasa putus asa dan akhirnya
meninggalkan doanya tersebut” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2735].
3. Melakukan maksiat dan apa yang diharamkan Allah. Seorang
penyair berkata : “Bagaimana mungkin kita mengharap terkabulnya doa,
sedangkan kita sudah menutup jalannya dengan dosa dan maksiat”.
4. Meninggalkan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِيْ
نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ وَلْتَنْهَوُنَّ عَنِ
اْلمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً
مِنْهُ ثُمَ تَدْعُوْنَهُ فَلا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi
Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, hendaklah kalian menyuruh yang ma’ruf
dan mencegah kemungkaran atau (kalau tidak kalian lakukan) maka pasti
Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, hingga kalian berdoa
kepada-Nya, tetapi tidak dikabulkan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2169, Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah 14/3453, dan Ahmad no. 23360. At-Tirmidzi berkata : “Hadits ini hasan”].
5. Berdoa yang isinya mengandung perbuatan dosa atau memutuskan silaturahim.
6. Tidak bersungguh-sungguh dalam berdoa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا
دَعَوْتُمُ اللهَ فَاعْزِمُوْا فِي الدُّعَاءِ وَلا يَقُوْلَنَّ
أَحَدُكُمْ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ فَإِنْ اللهَ لا مُسْتَكْرِهَ لَهُ
“Apabila seseorang dari kamu berdoa dan memohon kepada Allah, janganlah ia mengucapkan : ‘Ya Allah, ampunilah dosaku jika Engkau kehendaki, sayangilah aku jika Engkau kehendaki, dan berilah rizki jika engkau kehendaki ‘. Akan tetapi, ia harus bersungguh-sungguh dalam berdoa. Sesungguhnya Allah berbuat menurut apa yang Ia kehendaki dan tidak ada yang memaksa-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 7026].
7. Tidak khusyu’, lalai, dan terkuasai hawa nafsu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ادْعُوْا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِاْلإِجَابَةِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ لا يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاهٍ
“Berdoalah
kepada Allah dan kamu yakin akan dikabulkan. Ketahuilah bahwa Allah
tidak akan mengabulkan doa orang yang hatinya lalai dan tidak khusyu’ “ [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3479 dan Al-Hakim no. 1817; hasan lighairihi].
Kalaupun misalnya Allah ta’ala belum mentaqdirkan doa kita terwujud, kita harus sabar dan ridla bahwasannya Allah ta’ala mempunyai hikmah yang sangat besar. Allah ta’ala sangat
sayang terhadap hamba-Nya dan seorang hamba tidak tahu tentang akibat
urusannya. Terkadang seseorang mengharapkan sesuatu, padahal itu jelek
buat dia. Sebaliknya, seseorang membenci sesuatu, padahal itu baik buat dia. Wallaahu a’lam.Masih banyak kalangan yang berpendapat, bahwa orang Islam tidaklah perlu menjadi orang yang kaya. Karena hakikat kekayaan yang sesungguhnya akan diraih oleh orang-orang yang beriman nanti di akhirat. Pendapat ini mungkin yang mengakibatkan, banyak di kalangan umat Islam yang kurang bergairah ketika bekerja serta berusaha dalam mencari rezeki.
Padahal kita sama-sama mengetahui, bahwa zakat hanya mungkin bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai harta, demikian pula infak dan sedekah. Juga ibadah haji hanya mungkin bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Dan salah satu kemampuan yang menonjol adalah kemampuan dalam bidang materi, harta, dan kekayaan yang tercermin dari kemampuan membayar BPH (biaya perjalanan haji).
Sesungguhnya kalau kita melihat ajaran Islam, kita akan mengetahui bahwa pendapat tersebut (orang Islam tidak perlu menjadi orang yang kaya) kurang beralasan. Memang, jika harta didapatkan dengan cara-cara yang tidak benar, haram, dzalim, dan tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, jelas hal tersebut dilarang.
Umat Islam haruslah menjauhinya. Karena harta yang didapatkan dengan cara-cara demikian akan mengakibatkan terhambatnya doa untuk dikabulkan dan akan terhalang pula ibadah untuk diterima oleh Allah SWT.
Sedangkan apabila harta itu didapatkan dengan cara-cara yang baik, dengan usaha yang sungguh-sungguh, tidak melalui cara-cara yang batil; tidak korupsi misalnya, maka harta itu adalah merupakan suatu nikmat sekaligus sarana ibadah kepada Allah, dan untuk membangun kwalitas umat, kita perlu membangun institusi pendidikan, kesehatan (rumah sakit), dan kepentingan lainnya.
Rasulullah SAW menyatakan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya Allah SWT sangat mencintai hamba-Nya yang bertaqwa lagi kaya, yang menyembunyikan simbol-simbol kekayaannya.” Yang dimaksud dengan menyembunyikan simbol-simbol kekayaannya, adalah dia berpenampilan sederhana, tidak berlebih-lebihan (bersahaja) seperti orang biasa. Tetapi dia kelihatan kaya, ketika dia berinfak dan mensedekahkan hartanya pada jalan Allah, untuk perjuangan dan kemajuan agama Islam.
Misalnya sahabat Ustman bin Affan yang terkenal kaya, tetapi dalam penampilan kesehariannya, tidak berbeda dengan yang lainnya. Namun ketika dia diperintahkan untuk berinfak dan bersedekah, dia menginfakkan seratus ekor untanya (kalau dirupiahkan + 2 miliar) untuk kepentingan perjuangan dan kemajuan agama Islam, demikian pula sahabat-sahabat Nabi yang lainnya.
Itulah orang-orang kaya yang dicintai oleh Allah. Orang kaya yang bertakwa, yang kekayaannya tidak sekadar dinikmati untuk dirinya sendiri, tetapi ia rela, sadar, dan sungguh-sungguh ketika hartanya diberikan serta dipergunakan untuk masyarakat secara lebih luas. Kita sangat mendambakan lahirnya orang-orang kaya yang bertaqwa, yang sederhana yang peduli terhadap kaum dhuafa yang ada disekitarnya.
Sumber: upzpakistan.blogspot.com, Minggu 21 Maret 2010 | Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional, Ketua STEI SEBI
Artikel Terkait:
- Zakat Kepada Orang Tua Sendiri
- Mana yang utama Aqiqah atau Kurban
- Menukar dengan yang lebih rendah
- Zakat, Distribusi Kekayaan yang Adil
- Zakat, Pendistribusian Kekayaan yang Adil
AL-GHAFUUR
Yang Maha Pengampun
Kata Al-Ghafuur sama dengan Al-Ghafar ditinjau dari akar katanya yakni “ghafara”, dengan segala makna yang telah diuraikan ketika menjelaskan makna “Al-Ghaffaar”. Dalam Al-Qur’an kata Ghafuur terulang sebanyak 91 kali, jauh lebih banyak dari Al-Ghaffaar yang hanya terulang sebanyak lima kali. Pada umumnya sifat Allah ini dirangkaikan dengan sifat-Nya yang lain, khususnya Ar-Rahim. Selebihnya dirangkaikan dengan Halim, ‘afuw dan lain-lain dan hanya dua yang berdiri sendiri. Perangkaiannya dengan Ar-Rahim, memberi kesan bahwa pengampunan dan anugerah-Nya yang dicakup oleh pengertian sifat ini – tidak terlepas dari rahmat kasih-Nya.
Banyaknya disebut sifat Al-Ghafuur dalam Al-Qur’an memberi kesan bahwa Allah membuka pintu seluas-luasnya bagi hamba-Nya untuk memohon. Bahkan secara tegas dinyatakan, “Allah mengajak ke surga dan pengampunan-Nya atas izin-Nya” (Q.s. Al-Baqarah 2:221). Perhatikan bagaiamana ayat ini, di samping menegaskan bahwa “Allah mengajak” juga menguatkan ajakan itu dengan pernyataan “atas izin-Nya”, sehinga terasa benar bahwa ini adalah ajakan yang sangat serius di samping memberi kesan bahwa langkah yang diambil oleh seseorang menuju Allah tidak terlepas dari izin-Nya. Dengan demikian, Allah bukan hanya mendorong, sebagaimana firman-Nya, “Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Q.s. Ali Imran 3:133), tetapi juga menyiapkan situasi kejiwaan yang dapat mengantar manusia meraih pengampunan.
Sifat Allah yang terambil dari akar kata ini adalah Ghafuur, Ghaffaar dan Ghafir. Ibnu Al-‘Arabi mengemukakan beberapa pendapat menyangkut perbedaan kata-kata tersebut. Ghafir adalah “pelaku”. Maksudnya ia sekedar menetapkan adanya sifat ini pada sesuatu, tanpa memandang ada tidaknya yang diampuni atau ditutupi aib dan kesalahannya. Perbedaan antara Ghaffaar dan Ghafuur adalah Ghaffaar “yang menutupi aib, kesalahan di dunia,” sedang Ghafuur menutupi aib di akhirat. Atau Ghafuur dapat juga berarti, “banyak memberi maghfirah”, sedang Ghaffaar mengandung arti “banyak dan berulangnya maghfirah” serta “kesempurnaan dam keleluasaan cakupannya. Dengan demikian, Ghaffaar lebih dalam dan kuat kandungan maknanya dari Ghafuur dan karena itu pula ada yang berpendapat bahwa ia dapat mencakup orang-orang yang bermohon maupun yang tidak bermohon.
Pendapat lain mengatakan bahwa Ghafir adalah yang menutupi “sebahagian”, Ghafuur yang menutupi “kebanyakan”dan Ghaffaar yang menutupi “keseluruhan”.
Pendapat ini tidak beralasan, apalagi dengan memperhatikan kandungan ayat berikut dan penutupnya. “Katakanlah; Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Al-Ghafuur Ar-Rahim, Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Q.s. Az-Zumar 39:53).
Terbuka kemungkinan bagi yang tidak bermohonpun -selama dosanya bukan mempersekutukan Allah- untuk diampuni oleh-Nya. “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa yang mempersekutukan-Nya dengan sesuatu dan mengampuni dosa selain dari itu bagi siapa yangdikehendaki-Nya” (Q.s. An-Nisa’4:48 dan 116).
“Hamba-Ku, seandainya engkau datang kepada-Ku membawa hampir sebanyak isi bumi dosa, Aku akan datang menyambutmu dengan hampir seisi bumi maghfirah, selama engkau tidak mempersekutukan Aku (dengan sesuatu)” (H.R. Attirmizi melalui Anas bin Malik).
Imam Ghazali dalam membedakan sifat Ghafuur dan Ghaffaar menulis bahwa keduanya bermakna sama, hanya saja Ghaffur mengandung semacam mubalaghah (kelebihan penekanan) yang tidak dikandung oleh kata Al-Ghaffaar, karena Al-Ghaffaar menunjukkan mubalaghah dalam maghfirah (pengampunan menyeluruh/penutupan yang rapat) disamping berulang-ulangnya hal tersebut, sedang Ghafuur menunjuk kepada sempurna dan menyeluruhnya sifat tersebut. Allah Ghafuur dalam arti sempurna pengampunan-Nya hingga mencapai puncak tertinggi dalam maghfirah.
Pendapat Al-Ghazali diatas, mengantar kita untuk berkata vahwa pada prinsipnya upaya meneladani sifat Allah ini pun sama dengan apa yang telah dijelaskan ketika membahas sifat Al-Ghaffaar. Demikian wa Allah álam
M Quraish Shihab (Menyingkap Tabir Illahi)
0 komentar:
Posting Komentar