Menelusuri puing rumah yang tak kujamah lagi dalam rentang cukup lama, membawa pikiran ini turut menari-nari. Ada lagu-lagu rindu dikidungkan menggema di hati, meski selarik perih lara tak tertolak ikut tercoret kembali. Hanya batas-batas nilai membawa bait-bait kata yang semuanya tercipta demi damainya hati, aku dan dia…dia yang kutinggalkan dalam sepi. Dan bait-bait itu tercipta karena aku membutuhkan sebuah perlindungan, sebuah alasan. Alasan agar aku tak perlu menyakiti dia, cukup luka itu milikku. Rumah tua itu makin cantik. Teduh dengan kehijauannya, meski kusapa pada malam kurang sinar. Tetap tidak terlalu rapi karena rapi memang bukan kebutuhan dia yang disana. Hangatnya masih, tapi gemerisik anginnya kadang masih menyisakan sembilu. Kenapa aku harus peduli dengan sayatan angin itu? Bukankah aku terbiasa menerima semua yang menyentuhku apa adanya. Aku tak tahu, selain alasan yang membuatku bicara semuanya melebihi batas yang harus ditiupkan. Mungkin karena tiupan angin dan bait-bait puisi itu lantas menyayatku pada titiknya yang mestinya tak boleh disentuh. Mungkin karena titik itu juga adalah kebanggaanku sebagai manusia yang perlu menjaga apa yang dihormati. Dan disana terpatri mantra, ” Jangan Kau Tak Hormat Pada Ibuku”. Maka sutra sehalus apapun akan mampu membuat Raksasa dalam diri ini bangkit .
Tapi rindu ini bukan tak ada. Pada segala yang bisa kulakukan di rumah itu. Pada alunan irama yang mendayu indah. Rindu yang tak ingin mewujud. Rindu yang datang dengan perih dalam darah ketika ketuk bilah kayu dan tembaga mengalun. Rindu yang tak ingin kusapa. Tak ingin kunyatakan. Tak ingin sungguh kuwujudkan. Karena aku disini. Ada disini. Dengan segala yang mampu kugenggam. Aku cukup bahagia. Dan memang bahagia disini. Puja puji yang kudengar di rumah tua itu hanya sebuah pengakuan yang terlambat. Dan tarikan untukku kembali kesana. Semua sudah cukup bagiku, tak perlu lebih.
0 komentar:
Posting Komentar