Kisah 3 Orang Terkurung di Dalam Gua
Jauh sebelum diutusnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
mengisahkannya kepada kita berdasarkan wahyu dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَمَا
ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ الْمَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى
غَارٍ فِي جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ مِنَ
الْجَبَلِ فَانْطَبَقَتْ عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ:
انْظُرُوا أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً لِلهِ فَادْعُوا اللهَ
تَعَالَى بِهَا، لَعَلَّ اللهَ يَفْرُجُهَا عَنْكُمْ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ:
اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ
وَامْرَأَتِي وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا أَرَحْتُ
عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ
بَنِيَّ، وَأَنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ فَلَمْ آتِ حَتَّى
أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَا فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ
فَجِئْتُ بِالْحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ
أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ
قَبْلَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ
ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، فَإِنْ كُنْتَ
تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا
مِنْهَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ. فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا
فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ، وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ
إِنَّهُ كَانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ أَحْبَبْتُهَا كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ
الرِّجَالُ النِّسَاءَ وَطَلَبْتُ إِلَيْهَا نَفْسَهَا فَأَبَتْ حَتَّى
آتِيَهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَتَعِبْتُ حَتَّى جَمَعْتُ مِائَةَ دِينَارٍ
فَجِئْتُهَا بِهَا فَلَمَّا وَقَعْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ: يَا
عَبْدَ اللهِ، اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفْتَحِ الْخَاتَمَ إِلاَ بِحَقِّهِ.
فَقُمْتُ عَنْهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ
ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً. فَفَرَجَ لَهُمْ،
وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنِّي كُنْتُ اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا
بِفَرَقِ أَرُزٍّ فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ قَالَ: أَعْطِنِي حَقِّي
فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ فَرَقَهُ فَرَغِبَ عَنْهُ، فَلَمْ أَزَلْ أَزْرَعُهُ
حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرِعَاءَهَا، فَجَاءَنِي فَقَالَ: اتَّقِ
اللهَ وَلاَ تَظْلِمْنِي حَقِّي. قُلْتُ: اذْهَبْ إِلَى تِلْكَ الْبَقَرِ
وَرِعَائِهَا فَخُذْهَا. فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَسْتَهْزِئْ بِي.
فَقُلْتُ: إِنِّي لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ، خُذْ ذَلِكَ الْبَقَرَ
وَرِعَاءَهَا. فَأَخَذَهُ فَذَهَبَ بِهِ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي
فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مَا بَقِيَ. فَفَرَجَ
اللهُ مَا بَقِيَ
Ketika
ada tiga orang sedang berjalan, mereka ditimpa oleh hujan. Lalu mereka
pun berlindung ke dalam sebuah gua di sebuah gunung. Tiba-tiba jatuhlah
sebuah batu besar dari gunung itu lalu menutupi mulut gua mereka. Lalu
sebagian mereka berkata kepada yang lain: “Perhatikan amalan shalih yang
pernah kamu kerjakan karena Allah, lalu berdoalah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan itu. Mudah-mudahan Allah menyingkirkan batu itu dari kalian.”
Lalu berkatalah salah seorang dari mereka:
“Ya
Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua ibu bapak yang sudah tua renta,
seorang istri, dan anak-anak yang masih kecil, di mana aku
menggembalakan ternak untuk mereka. Kalau aku membawa ternak itu pulang
ke kandangnya, aku perahkan susu dan aku mulai dengan kedua ibu bapakku,
lantas aku beri minum mereka sebelum anak-anakku. Suatu hari, ternak
itu membawaku jauh mencari tempat gembalaan. Akhirnya aku tidak pulang
kecuali setelah sore, dan aku dapati ibu bapakku telah tertidur. Aku pun
memerah susu sebagaimana biasa, lalu aku datang membawa susu tersebut
dan berdiri di dekat kepala mereka, dalam keadaan tidak suka
membangunkan mereka dari tidur. Aku pun tidak suka memberi minum
anak-anakku sebelum mereka (kedua orangtuanya, red.) meminumnya.
Anak-anakku sendiri menangis di bawah kakiku meminta minum karena lapar.
Seperti itulah keadaanku dan mereka, hingga terbit fajar. Maka kalau
Engkau tahu, aku melakukan hal itu karena mengharapkan wajah-Mu,
bukakanlah satu celah untuk kami dari batu ini agar kami melihat langit.”
Lalu Allah bukakan satu celah hingga mereka pun melihat langit.
Yang kedua berkata: “Sesungguhnya
aku punya sepupu wanita yang aku cintai, sebagaimana layaknya cinta
seorang laki-laki kepada seorang wanita. Aku minta dirinya (melayaniku),
tapi dia menolak sampai aku datang kepadanya (menawarkan) seratus
dinar. Aku pun semakin payah, akhirnya aku kumpulkan seratus dinar, lalu
menyerahkannya kepada gadis itu. Setelah aku berada di antara kedua
kakinya, dia berkata: ‘Wahai hamba Allah. Bertakwalah kepada Allah.
Jangan engkau buka tutup (kiasan untuk keperawanannya) kecuali dengan
haknya.’ Maka aku pun berdiri meninggalkannya. Kalau Engkau tahu, aku
melakukannya adalah karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk
kami satu celah dari batu ini.”
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun membuka satu celah untuk mereka.
Laki-laki ketiga berkata: “Ya
Allah, sungguh, aku pernah mengambil sewa seorang buruh, dengan upah
satu faraq1 beras. Setelah dia menyelesaikan pekerjaannya, dia berkata:
‘Berikan hakku.’ Lalu aku serahkan kepadanya beras tersebut, tapi dia
tidak menyukainya. Akhirnya aku pun tetap menanamnya hingga aku
kumpulkan dari hasil beras itu seekor sapi dan penggembalanya. Kemudian
dia datang kepadaku dan berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah, dan jangan
zalimi aku dalam urusan hakku.’
Aku
pun berkata: ‘Pergilah, ambil sapi dan penggembalanya.’ Dia berkata:
‘Bertakwalah kepada Allah dan jangan mempermainkan saya.’ Aku pun
berkata: ‘Ambillah sapi dan penggembalanya itu.’ Akhirnya dia pun
membawa sapi dan penggembalanya lalu pergi. Kalau Engkau tahu bahwa aku
melakukannya karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami apa
yang tersisa.”
Maka Allah pun membukakan untuk mereka sisa celah yang menutupi.
Itulah
kisah yang diceritakan oleh beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah
kisah yang di dalamnya sarat dengan pelajaran yang sangat berharga. Dalam kisah ini terkandung dalil tentang tawassul (perantara) yang dibolehkan, yaitu dengan amal shalih yang pernah dikerjakan.
Orang
pertama bertawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan baktinya
kepada kedua orangtuanya. Dia seorang penggembala, dan makanan pokoknya
tergantung kepada susu ternaknya. Kebiasaan orang ini adalah memerah
susu itu sesudah dia pulang dan mulai memberi minum kepada kedua
orangtuanya sebelum anak dan istrinya.
Betapa
banyak di antara manusia saat ini yang berbakti kepada orangtua sesuai
keridhaan anak dan istrinya. Mereka mendahulukan anak dan istrinya,
kemudian baru berbakti kepada ibu bapak mereka. Yang lebih menyedihkan
lagi, sebagian mereka lebih suka menitipkan ibu bapaknya di panti-panti
jompo.
Tidak
takutkah mereka dengan peringatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sebuah hadits, ketika beliau naik ke atas mimbar sambil
mengucapkan amin, setiap kali menapakkan kaki di atas mimbarnya? Para
sahabat yang begitu antusias dengan kebaikan, bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apa yang anda aminkan, wahai Rasulullah?”
Beliau berkata: “Jibril datang kepadaku lalu berkata –di antaranya–:
رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ، قُلْتُ آمِيْن
‘Alangkah
celakanya seseorang yang mendapati kedua orangtuanya atau salah
satunya, namun keduanya tidak menyebabkan dia masuk ke dalam jannah.’
Aku pun berkata: ‘Amiin’.”2
Adapun
kebiasaan si penggembala ini, dia menjauh untuk mencari ladang
gembalaan ternaknya, dan tidak kembali kecuali sesudah malam agak larut.
Dia pun memerahkan susu untuk ibu bapaknya yang ternyata telah
tertidur. Dia tidak suka membangunkan mereka dan tidak mau memberikan
susu itu untuk anaknya. Akhirnya dia pun berjaga sepanjang malam itu
dengan susu itu masih di tangannya, sedangkan anaknya menangis di bawah
kakinya.
Sungguh,
hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tahu betapa sulitnya keadaan si
penggembala malam itu. Jauh-jauh dia menggembalakan kambing, lalu
bergegas pulang dan belum sempat makan malam, sementara anaknya menangis
di bawah kakinya. Gambaran yang sangat agung yang ditunjukkan oleh
iman, hingga membawanya sampai pada tingkatan demikian tinggi karena
baktinya kepada ibu bapaknya dan semangatnya melakukan hal itu, sehingga
menjadi salah satu sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka sedikit
celah yang menutupi gua itu.
Ini adalah peringatan bagi umat ini, sekaligus anjuran agar berbakti kepada ibu bapaknya dan bersegera menjalankannya.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan kisahnya.
Orang
kedua, dia bertawassul kepada Rabbnya dengan rasa takutnya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Rasa takut itu mendorongnya untuk meninggalkan
perbuatan keji dan bujukan syahwat. Dia begitu mencintai dan ingin
memiliki putri pamannya, bahkan membujuk gadis itu agar mau mengikuti
keinginannya, namun wanita itu menolak.
Pada
suatu ketika wanita itu ditimpa kesulitan ekonomi. Hal ini mendorongnya
datang menemui si pemuda. Tapi keadaan ini seolah menjadi sebuah
kesempatan baik bagi si pemuda agar melampiaskan syahwatnya. Akhirnya,
dia membujuk wanita agar menuruti keinginannya dan dia siap membantunya.
Dengan terpaksa, wanita itu meluluskan keinginan si pemuda setelah dia
menerima sejumlah uang yang cukup besar dan diserahkan sebelum dia
melayani si pemuda.
Akan
tetapi, di saat pemuda itu sudah siap untuk melakukan segala perkara
yang hanya layak dilakukan oleh suami kepada istrinya, dan tidak ada
lagi yang akan mencegah si pemuda berbuat apa yang diinginkannya
terhadap tubuh wanita itu, tiba-tiba wanita itu menangis dan bergetar.
Pemuda itu bertanya: “Ada apa?” Si wanita mengatakan bahwa dia takut
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena dia belum pernah melakukan
perbuatan keji (zina) sebelum itu. Mendengar ucapan wanita tersebut,
pemuda itu segera berdiri dan meninggalkan si wanita yang sangat
dicintainya serta harta yang diberikannya untuk si wanita.
Itulah
keimanan, yang mendorongnya meninggalkan perbuatan zina. Padahal dia
mampu melakukannya, bahkan semua sarana dan fasilitas serta situasi
sangat mendukung keinginannya. Tetapi, iman dan rasa takutnya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntutnya segera meninggalkan perbuatan keji
itu dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh
sangat disayangkan, sebagian anak-anak kaum muslimin, justru melangkah
menuju perbuatan keji ini. Lebih celaka lagi, semua dikemas dengan label
Islam; Pacaran Islami. Bahkan para orangtua mendukung perbuatan
tersebut. Mereka merasa bangga bila anak gadisnya bergandengan atau
berduaan dengan seorang pemuda, entah teman sekolahnya atau hasil
perkenalan di sebuah tempat. Sementara pada diri para pemuda dan
pemudinya, rasa minder akan menghinggapinya jika mereka tidak mempunyai
pacar.
Jadi,
seolah-olah dalam Islam perzinaan itu sah-sah saja. Na’udzu billahi min
dzalik. Maha Suci Allah dari kedustaan yang mereka ada-adakan.
Tapi,
lihatlah bagaimana pemuda itu. Dalam keadaan sudah hampir melakukannya,
terhadap wanita yang dicintainya, tanpa ada yang merintangi. Ternyata
dia segera beranjak pergi meninggalkan si wanita dan membiarkan harta
itu untuknya. Itulah taubat yang membasuh dosa.
Rasa
takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat laki-laki itu menjauhi
putri pamannya itu, padahal dia adalah wanita yang paling dicintainya.
Wanita yang memberi kesempatan kepada dirinya untuk berbuat apa saja,
tapi juga mengingatkannya agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Wanita itu mengingatkannya kepada Dzat yang dirinya adalah hamba
sahaya-Nya. Wanita itu mengingatkannya kepada Allah: “Wahai hamba
Allah, bertakwalah kepada Allah!” Artinya, buatlah antara dirimu dengan
Allah Subhanahu wa Ta’ala sebuah pelindung, dengan menjalankan perintah
dan menjauhi larangan-Nya dalam keadaan penuh rasa takut dan harap.
“Bertakwalah kepada Allah, jangan kau buka tutupnya kecuali dengan haknya,” kata wanita itu.
“Lalu
aku pun berdiri meninggalkannya. Ya Allah, kalau Engkau tahu aku
melakukannya karena mengharap Wajah-Mu, maka lepaskanlah kami dari batu
ini.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberi celah lebih lebar
daripada sebelumnya, namun mereka belum dapat keluar.
Apa
yang mendorongnya meninggalkan wanita itu dalam keadaan dia sudah ada
di atas tubuhnya? Apa yang mencegahnya dari kemaksiatan? Tidak ada yang
menghalanginya selain kokohnya sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam sanubarinya. Tidak ada yang menghentikannya
selain kebesaran Rabbnya yang bertahta di hatinya, sehingga menimbulkan
rasa takut dan merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia segera
berdiri karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharap pahala dan takut
akan siksa-Nya.
Alangkah
banyak di antara manusia yang masih suka mengangkangi hak orang lain.
Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah
hadits shahih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
مَنِ اقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
“Siapa
yang mengambil harta seorang muslim tanpa alasan yang haq, niscaya dia
bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan Dia sangat murka
kepadanya.” (HR. Ahmad)
Bayangkanlah
hari yang sangat dahsyat tersebut. Ketika manusia dikumpulkan dalam
keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan tidak berkhitan, di
saat kita sangat membutuhkan karunia dan rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dalam hadits lain yang hampir serupa dengan ini, terkait dengan
sumpah, mereka bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Walaupun sebatang kayu arak –untuk siwak–?”
Kata beliau: “Walaupun hanya sebatang kayu arak.”
Artinya,
seandainya kita mengambil sebatang kayu arak dari seorang muslim dalam
keadaan dia tidak senang kamu mengambilnya, niscaya kita akan bertemu
dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan dia murka. Lantas, di
mana sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari
orang-orang yang berbuat zalim seperti ini?
Seandainya
dia memiliki sikap ta’zhim kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentulah
dia seperti orang yang diceritakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits ini. Kita perhatikan kisah tentang orang ketiga
ini.
Dia
menyewa seorang buruh agar bekerja dengan upah yang telah ditentukan,
tetapi pekerja itu tidak jadi mengambil upahnya. Dia malah pergi tanpa
membuat kesepakatan dengan majikannya agar upahnya dikembangkan. Namun,
kedermawanan majikan tersebut mendorongnya mengolah upah buruh tadi
sehingga bertambah banyak.
Tak
lama, dari upah buruh tadi yang tidak seberapa, harta itu berkembang
menjadi berlimpah. Kemudian datanglah si buruh menagih upah yang dahulu
dia tinggalkan. Oleh si majikan, harta yang berasal dari upah si buruh
diserahkan seluruhnya kepada buruh tersebut.
Dia berkata: “Lalu
aku berikan kepada buruh itu semua yang telah aku kembangkan dari
upahnya. Andai aku mau tentulah tidak aku berikan kepadanya melainkan
upahnya semata.” Artinya, dia kuasa untuk tidak memberi buruh tadi
harta yang sudah dikembangkannya dalam waktu cukup lama. Akan tetapi,
dengan sikap pemurahnya itu, dia menyerahkan semua harta yang diperoleh
dari upah buruh tersebut.
Lalu dia pun berkata: “Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya demi mengharap rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu, maka lepaskanlah kami.” Maka batu itu pun bergeser dan mereka berjalan keluar dari gua tersebut.
Melalui
kisah ini pula kita dapatkan bahwa selamat dari petaka/bencana adalah
balasan atas amal perbuatan yang shalih. Betapa besar ganjaran yang
diterima oleh mereka yang jujur dan amanah dalam bermuamalah.
Majikan
yang jujur dan amanah yang mengembangkan upah buruhnya adalah cermin
bagi kita melihat betapa langkanya kejujuran dan amanah itu di sekitar
kita saat ini. Dia menyerahkan semua harta yang dihasilkan dari
pengembangan upah buruhnya, tanpa meminta imbalan atau bagian atas
upayanya mengembangkan upah buruh tersebut. Sementara di sekitar kita,
hal ini justru menjadi peluang untuk memperoleh harta tambahan. Wallahul
Musta’an.
Alangkah tepat ungkapan ini:
صَبْراً جَمِيلاً مَا أَقْرَبَ الْفَرَجَا
مَنْ رَاقَبَ اللهَ فِي الْأُمُوْرِ نَجَا
مَنْ صَدَقَ اللهَ لَمْ يَنَلْهُ أَذَى
وَمَنْ رَجَاهُ يَكُونُ حَيْثُ رَجَا
Bersabarlah dengan kesabaran yang indah, alangkah dekatnya jalan keluar
Siapa yang senantiasa yakin diawasi oleh Allah dalam semua urusan pasti selamat
Siapa yang jujur terhadap Allah tentu tidak akan celaka
Dan siapa yang mengharapkan-Nya tentu Dia ada di mana pun diharap
Jelaslah,
dari hadits ini bahwa ketiga laki-laki mukmin ini, di saat mereka
ditimpa malapetaka dan keadaan mengimpit mereka, serta putus asa akan
datangnya kelonggaran dari semua jalan selain jalan Allah Tabaraka wa
Ta’ala satu-satunya, maka mereka pun berlindung dan berdoa kepada-Nya
dengan ikhlas, serta menyebutkan amalan-amalan shalih mereka yang dahulu
biasa mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktu-waktu
senang, sambil mengharapkan agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui
keadaan mereka di saat-saat yang sulit. Sebagaimana hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ
“Ingatlah kepada Allah ketika dalam keadaan senang, tentu Dia mengingatmu pada saat-saat yang sulit.”2
Wallahu a’lam.
1
Kira-kira 16 ritl. Ritl adalah ukuran yang dipakai untuk menimbang, dan
takarannya berbeda antara satu negeri dengan negeri lainnya. Di Mesir
misalnya, 1 ritl= 12 uqiyah, 1 uqiyah= 12 dirham. 1 dirham sendiri =
3,98 gram perak, berarti 1 faraq sekitar 9,17 kg. Adapula yang
berpendapat 1 uqiyah= 40 dirham, sehingga 1 faraq sekitar 30,5 kg.
2 Shahih Adabul Mufrad (no. 503), dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
2
HR. Ahmad dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan sanadnya sahih
dengan syawahid, lihat Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah (hal. 138),
karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
0 komentar:
Posting Komentar